Aikido is useless! Perhaps it is true, check your mentality.


Aikido adalah salah satu seni beladiri yang sangat sering menimbulkan salah kaprah, baik dari sudut pandang awam, praktisi beladiri lain, bahkan praktisinya sendiri.

Berakar dari seni beladiri kuno yang secara teknis sudah tidak relevan lagi di masa modern, Aikido mempertahankan bentuk praktek latihannya hingga sekarang, yang mengantarkan kita pada cemoohan yang mengatakan disiplin ini adalah salah satu ilmu beladiri yang tidak berguna. Saya berkutat selama lebih dari satu dekade di Aikido, dan sepakat jika awam berpendapat bahwa pelajaran kami itu “useless”, tapi itu jika kita hanya melihat Aikido dari kulitnya saja.

Saya berulang kali menekankan bahwa pelajaran teknik di Aikido hanyalah pembelajaran di pengenalan motorik manusia secara umum, tapi untuk menerapkan teknik secara aplikatif dalam keadaan memaksa, ada banyak yang harus diimprovisasikan disitu, dengan kata lain, kita bisa saja hafal sekian ratus teknik Aikido, tapi jika kita tidak bisa kreatif, adaptif, dan responsif, teknik-teknik itu tidak ada gunanya.

Di salah satu artikel yang ditulis seorang shihan, ia mengatakan bahwa semua teknik di Aikido bisa dihafal dalam jangka waktu dua tahun saja, tapi si praktisi belum tentu tahu bagaimana menggunakan teknik-teknik tersebut. Berangkat dari pendapat tersebut, saya berkesimpulan ada banyak kesalahan cara pandang dari awam maupun praktisi mengenai cara latihan di Aikido, kesalahan-kesalahan yang dilakukan para praktisinya sendiri tang kemudian mencederai reputasi ilmu beladiri ini di mata khayalak luas, dimana saya menyorotinya dari satu sudut pandang, yaitu bagaimana sepasang Aikido-ka berlatih.

Pertama-tama perlu diingat bahwa Aikido tidak mengenal bentuk kompetisi, maka tidak ada persaingan untuk membandingkan individu satu dengan lainnya berkaitan dengan kualitas teknik, teknik Aikido adalah hal yang personal, karena ia merupakan hasil kontemplasi, adaptasi fisik, dan improvisasi secara pribadi.

Mengacu pada tulisan “Budo adalah upaya penyempurnaan diri” (Donn F. Draeger, Classical Budo), maka ia tidak terlalu pusing dengan prestasi ataupun keunggulan atas orang lain, yang dilakukan seorang budo-ka adalah upaya untuk terus menerus meningkatkan kualitas kemampuannya, it’s about progress, not result.

Jadi, bagaimana saya bisa mengatakan bahwa ada banyak praktisi yang melakukan kesalahan dalam latihannya? Sebenarnya lebih berakar pada mindset disaat latihan:

A.Mentalitas menang dan kalah:

1. Tori sering beranggapan bahwa uke adalah “lawan” yang harus ditaklukkan, ini secara tidak sadar mempengaruhi sisi psikologis uke yang kemudian secara naluriah “bertahan” dari ancaman eksternal yang dilakukan nage, sehingga kemudian teknik menjadi sangat sulit untuk dilakukan, dan kemudian dipelajari.

2. Uke pun sering salah kaprah dengan menganggap bahwa tori adalah lawannya, sehingga kemudian latihan menjadi tidak produktif ketika uke dengan sengaja dan gigih berusaha menggagalkan teknik, sehingga latihan pun menjadi mandek dan tidak berkualitas.

B. Egosentrisme

1. Tori sering menganggap uke tidak lebih dari “crash test dummies”, yang harus mampu menghadapi setiap teknik yang ia lakukan. Yang sering dilupakan adalah, kemampuan uke untuk menerima teknik tertentu itu berkaitan erat dengan pengalaman latihannya, seorang tori harus cukup sensitif dalam mengevaluasi kemampuan uke dalam menerima teknik yang akan dilakukan.

2. Ada sebagian praktisi yang menaruh perhatian besar pada “ukemi” sehingga ia asyik dengan dunianya sendiri tanpa berusaha melakukan observasi pada tori dan membantunya memperbaiki teknik.

Jadi mentalitas seperti apa yang harus dijalankan oleh tori-uke disaat berlatih? Idealnya O-sensei mengatakan bahwa uke harus jujur dalam berlatih, dalam arti, ia menyerang dengan benar, tanpa asumsi bahwa ia sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh tori, semua serangan dan reaksi uke harus lah fokus tapi spontan, dan disaat yang sama, ia harus mampu mendeteksi kekurangan yang dilakukan oleh tori.

Tori, di sisi lain, harus melepaskan diri secara utuh dari mentalitas kompetisi. Ia harus menghadapi uke dengan mental yang positif, percaya diri dengan kemampuannya, dan membiarkan teknik dievaluasi oleh rekan berlatihnya.

Ilmu beladiri lain umumnya mengenal sistem persaingan yang ketat, dimana setiap orang diberikan satu “skill set” yang sama dan diharapkan untuk berlomba-lomba menjadi yang paling unggul dengan mengacu pada standar yang seragam. Namun mentalitas tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi bagian dari latihan Aikido, saya mengandaikan latihan ideal adalah seperti ini:

Setiap individu (Aikido-ka) adalah ahli riset yang harus menggarap penelitiannya masing-masing di laboratorium (dojo), maka para peneliti ini dikumpulkan di satu tempat agar mereka bisa saling melengkapi dalam membantu rekan-rekannya menggarap penelitiannya masing-masing. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda, namun dapat mendukung individu lainnya agar materi mereka lengkap. Penelitian-penelitian ini semuanya merupakan potongan-potongan “puzzle” yang jika disatukan nanti bisa menjadi satu hasil penelitian yang akan menguntungkan seluruh umat manusia.

Berangkat dari cemoohan praktisi lain mengenai ilmu yang saya geluti, saya banyak bercermin dan bertanya, bahwa mungkin semua cemoohan itu beralasan karena cara kita berlatih yang memang tidak bermanfaat. Maka pertama-tama, sebenarnya kita harus mulai mengoreksi diri sendiri dulu, apakah latihan di dojo sendiri sudah saling memberikan manfaat bagi sesama praktisi? Apakah latihan kita didukung oleh “mindset” yang benar, yang kemudian bisa meningkatkan kualitas teknik? Apakah hasil latihan kita secara luas nantinya bisa bermanfaat untuk masyarakat sesuai dengan cita-cita O-sensei? Tentunya ada banyak yang harus dievaluasi terutama dari sisi mental terlebih dahulu agar kita tidak terlalu lama berkutat di negeri impian.

Pergi ambil air!

Alkisah, seorang anak dikirim oleh keluarganya untuk mempelajari seni perang dari seorang rahib yang dahulu dikenal sebagai jenderal perang yang sangat handal. Namun setibanya di kuil sang rahib, ia menyadari bahwa tidak ada satupun murid di kuil terpencil tersebut selain seorang pesuruh tua renta.
Sang rahib menyambutnya di gapura kuil “Bagus lah, engkau sudah datang, segera letakkan barangmu dan pergi ambil air”
Dengan mengikuti petunjuk si pesuruh, sang murid mengambil air di sumur yang berlokasi cukup jauh dari kuil. Ketika ia sedang dalam perjalanan kembali, sang rahib berjalan mendatanginya, tanpa berhenti sedikitpun ia mengayunkan gagang sapu ke arah si murid, air tumpah kemana-mana, dan sang murid hanya bisa jatuh terduduk dan menganga.
Selama satu tahun lamanya ia mengalami hal tersebut, tanpa ada satu pun latihan jurus, terkadang ia berusaha menghindar namun tetap saja sang rahib bisa menebak kemana ia pergi, hingga akhirnya ia pun pasrah.
Di tahun kedua, serangan semakin menjadi-jadi, ia dijegal, dipukul, ditendang, hingga semua air yang ia bawa tumpah dan ia harus kembali ke sumur untuk mengambil air lagi.
Di tahun ketiga, ia mulai berhasil menghindari serangan gurunya, namun tetap saja ada banyak air yang ia tumpahkan dan ia harus mengambil air lagi.
“Pergi ambil air!” Perintah sang rahib, dan dengan bersungut-sungut ia mengambil ember lalu berjalan menuju lokasi sumur, di tengah jalan ia dihadang, dan dipukul dengan gagang sapu.
Tahun keempat pun tiba, seiring dengan kebiasaan, sang murid mulai bisa mengukur kemampuan sang rahib, ia mulai bisa menghindar, namun air masih bercipratan dan membasahi jubahnya. Hingga akhirnya ia pun muak dan memberanikan diri membentak gurunya “Aku bosan! Kapan engkau akan mengajariku mengayun pedang?!”
Sang rahib terpana, lalu menjawab “Engkau belum siap, bawa embermu dan pergi ambil air” Dan si murid kembali menjalani tahun keempat dengan cipratan air sepanjang jalan kembali menuju kuil.
Di tahun kelima, air yang bercipratan mulai berkurang, tapi kemudian suatu hari sang guru mengejarnya dengan sebilah pisau dapur hingga ia pun lari terbirit-birit.
Di tahun keenam sang murid sadar bahwa jika ia terus menerus berlari maka mereka bertiga di kuil akan kekurangan air, bahkan si pesuruh mulai sakit-sakitan karena kurang minum, hatinya pun tergerak, ia berjanji pada dirinya sendiri akan tetap membawa air ke kuil dan menghadapi apapun yang akan terjadi.
Hari sudah gelap ketika ia kembali dari sumur, dan ia melihat sosok seseorang yang menghunus pedang, berdiri menghadangnya di tengah jalan. Namun dengan tenang ia terus berjalan, hingga ketika jarak diantara mereka tidak lebih dari dua langkah, pedang itu terayun hendak membelah kepalanya. Sang murid meletakkan kedua ember yang ia bawa dengan hati-hati agar tidak ada air yang tumpah, lalu tangannya bergerak mencegah tangan si penyerang sehingga pedang pun terhenti di udara, betapa terkejutnya ia melihat bahwa si penyerang adalah gurunya sendiri! Ia melihat sebentuk senyum dan sang guru berkata “Bawa air itu dan istirahatlah, kita mulai latihan besok”
Hanya butuh waktu setahun bagi sang murid untuk mempelajari semua ilmu yang dipunyai sang rahib. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Setibanya di rumah, orang tuanya bertanya “Bagaimana nak? Apa yang sudah engkau pelajari?”
Ia hanya menjawab “Semuanya yang guruku ketahui”

Figur dan Tempat-Tempat Penting

Berikut adalah pengetahuan umum yang berkaitan dengan Aikido, beberapa figur serta lokasi-lokasi yang memegang peran dalam sejarah perkembangan Aikido hingga saat ini. Nama-nama yang termuat dalam artikel ini ditulis dengan format tradisional Jepang, yaitu dengan menempatkan nama keluarga di depan.

Figur:
Ueshiba Morihei
Pendiri Aikido, dikenal juga dengan sebutan O-sensei.

Ueshiba Yoroku
Ayah dari O-sensei, merupakan inspirator awal ketertarikan O-sensei akan ilmu beladiri. O-sensei mulai tertarik untuk belajar ilmu beladiri setelah menyaksikan sang ayah mengusir perampok yang menyatroni rumah keluarganya.

Takeda Sokaku
Guru dari O-sensei yang paling dikenal, ahli ilmu beladiri yang disebut Daito-ryu Aiki-jujutsu, yang merupakan akar dari Aikido.

Deguchi Onisaburo
Dikenal sebagai “guru spiritual” O-sensei, pemuka agama Shinto sekte Omoto. Bersumber dari ajaran Omoto-kyo, O-sensei menyertakan sedikit paham spiritual universal yang turut menjadi bagian dari Aikido.

Ueshiba Kisshomaru
Putra O-sensei, doshu (penjaga aliran) Aikido kedua, juga merupakan pelopor kurikulum formal Aikido modern. Aikikai secara formal berdiri dan secara aktif mulai mempromosikan diri ke seluruh dunia sejak berada di bawah kepemimpinan mendiang Ueshiba Kisshomaru.

Tohei Koichi
Satu-satunya uchi-deshi yang memegang sertifikat dan-10 langsung dari O-sensei, dan termasuk salah satu pencetus kurikulum Aikido. Setelah memisahkan diri dari Aikikai, Tohei-sensei mendirikan Ki no Kenkyukai.

Saito Morihiro
Salah satu uchi-deshi O-sensei yang diserahi tanggung jawab menjaga kediaman keluarga Ueshiba di Iwama. Hingga akhir hayatnya Saito-sensei tetap loyal dengan memegang tanggung jawab tersebut. Saito-sensei dikenal sebagai praktisi yang tetap mempertahankan bentuk teknik dari O-sensei.

Ueshiba Moriteru
Cucu dari O-sensei, putra dari mendiang Ueshiba Kisshomaru, Aikido-doshu yang sekarang tengah menjabat.

Ueshiba Mitsuteru
Putra dari Ueshiba Moriteru-doshu, dikenal dengan sebutan “waka-sensei” atau “guru muda”. Calon penerus doshu berikutnya.

Tada Hiroshi
Salah satu uchi-deshi O-sensei, merupakan shihan yang paling senior (dan-9) di Aikikai saat ini dan merupakan penanggung jawab studi dari Waka-sensei.

Fujita Masatake
Shihan yang memegang jabatan sebagai penanggung jawab teknik Aikikai sekarang.

Hirai Minoru
Pencetus nama “Aikido”

Peter Goldsbury
Ketua International Aikido Federation (IAF), organisasi yang berada dibawah pengawasan Aikikai Honbu Dojo, yang merupakan wadah keorganisasian dari seluruh dojo Aikikai di seluruh dunia.

Tempat:
Tanabe, Wakayama-ken
Tanah kelahiran O-sensei.

Iwama, Ibaraki-ken
Lokasi kediaman keluarga Ueshiba di masa PD II, sekaligus dojo rahasia selama diberlakukannya larangan latihan ilmu beladiri. Di lokasi ini sekarang berdiri kuil Shinto milik Keluarga Ueshiba yang lebih dikenal dengan sebutan Aiki-Jinja.

Shirataki, Hokkaido
Lokasi transmigrasi keluarga Ueshiba, di kota ini pula O-sensei pertama kali secara formal mempelajari Daito-ryu Aiki-jujutsu dibawah arahan langsung dari Takeda Sokaku.

Ayabe
Lokasi yang yang menjadi basis pengikut Omoto-kyo, juga merupakan tempat dimana O-sensei mendirikan dojo pertamanya dengan bantuan Deguchi Onisaburo.

Domo arigato gozaimasu!

Kepada semua pihak yang terlibat dan turut hadir dalam acara peresmian dojo Aikido Suisen, kami, segenap anggota dan pengurus mengucapkan banyak terima kasih atas kehadirannya serta dukungan yang diberikan. Dengan ini, latihan di Suisen-dojo telah resmi dimulai, dan juga turut mengundang teman-teman praktisi sekalian untuk berkunjung dan berlatih bersama.

Deep rei,
Suisen-kan

20130923-055115.jpg

Launching

Dojo Suisen memang belum diresmikan, tapi dengan ini izinkan saya mengucapkan selamat atas berdirinya sebuah dojo yang murni diprakarsai oleh teman-teman sesama praktisi yang memiliki semangat yang sangat kuat untuk tetap berlatih, semoga semangat ini tetap bertahan dan terus diwariskan dari waktu ke waktu.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas kepercayaan teman-teman sekalian yang telah merekomendasikan penunjukan saya sebagai instruktur kepala kepada dewan guru BPD YIA Yogyakarta Aiki-Shidoukai, tanggung jawab yang besar ini akan saya emban dengan sebaik-baiknya.

Deep rei,

Imam Raharja